IKHTISAR
IMPLIKASI QIRAAT SAB'AH DALAM ISTINBATH HUKUM DALAM SURAT AL-BAQARAH AYAT 222.
Orang Arab mempunyai keberagaman Lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensif adalam kitab-kitab sastra, setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih unggul dari bahasa Arab lainya, antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu jamaah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan mengusai perdagangan. Oleh sebab itu seluruh suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karakteristik tersebut.
Dengan demikian, wajarlah Al-Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula, untuk mempersatukan bangsa Arab, dan wujud kemukjizatan Al-Quran sekaligus melemahkan mereka ketika diminta untuk mendatangkan satu surat yang seperti Al-Quran.
Apabila orang Arab berbeda dialek dalam pengungkapan suatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka Al-Quran yang diwahyukan Allah Kepada Rasul-Nya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan ragam qiraat diantara lahjah-lahjah itu. Hal ini merupakan untuk memudahkan membaca, menghafal, dan memahaminya.
Dalam penelitian ini dirumuskan masalah terkait dengan judul di atas yakni : dari adanya varian suatu qiraat maka, dalam tinjauan hukum ikut berbeda penafsiran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum dalam suatu varian qiraat. Dan memakai Imam Qiraat siapa saja Ahli Fiqh dalam mengambil suatu hukum.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan normatif dengan metode Deskriftip sebagai upaya penyusunan bahan penelitian, Library reseach (kajian pustaka) dengan metode analisi isi. Adapun kesimpulan menggunakan metode dedukatif dan comparative analisy (analisis perbandingan).
Dari penelitian ini dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam surat Al-Baqarah ayat 222 tersebut pada lafazh يَطْهُرْن ada yang membaca dengan Takhfîf. Dengan ketentuan hukum, di bolehkan para suami untuk menggauli istrinya walaupun belum mandi, dan cukup membasuh farjinya saja. Yaitu pendapatnya Abu Hanifah dan Auzai’.
2. Kemudian yang membaca dengan Tasydîd يَطَّهَّرْنَ . dengan ketentuan hukum, tidak boleh para suami menggauli istrinya sebelum dia suci (mandi). Yaitu pendapatnya Imam Syafi’i dan Ahmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar